Mengenai Saya

Foto saya
SOLO, JAWATENGAH, Indonesia
Alhamdulillah dipercaya sebagai seorang guru, masih dan akan selalu belajar agar senantiasa menjadi lebih baik.

Kamis, 02 Februari 2012

PAKAIAN KETIKA SHALAT

 Dari Tulisan Syaikh Mansyhur Hasan Salman

Pakaian sebagai kebutuhab primer kita sehari-hari sangat layak diperhatikan terlebih ketika kita menghadap Allah di dalam shalat. Kita diharuskan berpakaian bersih suci dari segala jenis najis dan menutup aurat. Permasalahan bersih dari najis, tentu kita sudah banyak yang memahaminya. Tetapi tentang menutup aurat? seperti bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan di waktu shalat? pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kita kupas pada rubrik AHKAM kali ini lewat tulisan Syaikh Mansyhur Hasan Salman dalam sebuah karya beliau yang berjudul Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin (Keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) yang diterbitkan oleh penerbit Dar Ibni Qayim, Arab Saudi hal 17-32. Beliau termasuk murid Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, pakar hadits abad ini yang karya-karyanya sudah beredar di seluruh dunia dan menjadi rujukan para thalibul ‘ilmi. (red.)


Tasyabuh Dalam Berpakaian
sebuah riwayat dalam shahih Muslim disampaikan dengan sanadnya kepada Abu Ustman An-Nahdi, ia berkata: “Umar pernah mengirim surat kepada kami di Azerbaijan yang isinya: “Wahai Utbah bin Fardad! Jabatan itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula pada jerih payah ayah ibumu. Karena itu kenyangkanlah kaum muslimin di negeri mereka dengan apa yang mengenyangkanmu di rumahmu1, hindarilah bermewah-mewah, memakai pakaian ahli syirik dan memakai sutera.”
Dalam Musnad Ali bin Ja’ad ada tambahan : “…. pakaian sarung, rida’ (jubah), dan sandal serta buanglah selop dan celana panjang … pakailah pakaian bapak kalian Ismail. Hindarilah bernikmat-nikmat dan hindarilah pakaian orang-orang asing.” (Riwayat Ali bin Ja’ad dan Abu Uwanah dengan sanad shahih)
Waki’ dan Hanad meriwayatkan ucapan Ibnu Mas’ud radliallahu’anhu di dalam Az-Zuhd, beliau berkata : “Pakaian tidak akan serupa hingga hati menjadi serupa.” (Sanadnya dlaif)
Ucapan beliau ini diambil dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
HADITS
Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu. (HSR. Abu Dawud, Ahmad dan selainnya)
Dari sinilah Umar bin Khattab radliallahu’anhu memerintahkan rakyatnya agar membuang selop dan celana panjang serta memerintahkan mereka mengenakan pakaian yang biasa dikenakan orang Arab, yaitu dengan tujuan memelihara kepribadian mereka agar jangan condong kepada orang-orang ‘ajam.
Perbuatan tasyabuh (dalam hal pakaian) yang dilakukan oleh umat Islam ini kepada musuh-musuhnya merupakan tanda lemahnya iltizam mereka dan lemahnya akhlak mereka. Mereka telah ditimpa penyakit bunglon dan bimbang. Perjalanan mereka pun goncang seperti benda padat yang telah cair, siap dileburkan dalam berbagai bentuk di setiap waktu. Bagaimanapun juga tasyabuh ini merupakan penyakit yang jelek. Perumpamaannya seperti seorang yang menisbatkan dirinya kepada orang lain selain ayahnya. Mereka tidak disukai oleh umat yang melahirkan mereka, tidak pula diakui oleh umat yang mereka tiru dan cintai.
Mungkin timbul pertanyaan : kenapa para ulama tidak berupaya meluruskan kebiasaan atau adat ini sebelum menjadi perkara besar? Jawabannya : sesungguhnya para ulama telah berupaya keras meluruskannya, akan tetapi dalam berhadapan dengan kenyataan bahwa mayoritas mengalahkan yang minoritas sehingga upaya para ulama tersebut tidak banyak memberikan hasil. Banyak dari kaum muslimin merasa pada posisi yang sulit di tengah-tengah adat dan pakaian kaum musyrikin padahal di antara mereka ada yang dikenal ’alim. Mereka inilah yang menjadi contoh jelek bagi kaum muslimin, wal ‘iyadzu billah.2
Lebih parah lagi di antara mereka ada yamg meninggalkan shalat hanya karena khawatir pantolannya berkerut-kerut hingga merusak penampilan. Hal ini banyak kita dengar dari mereka. Karena itu di antara upaya menghidangkan sunnah di hadapan umat, kami bawakan beberapa kriteria pakaian shalata yang sepatutnya diperhatikan seorang muslim supaya terhindar dari hal-hal tersebut di atas.

Pakaian Dalam Shalat

Kriteria tersebut adalah :
  1. Tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk aurat
Mengenakan pakaian ketat jelas tidak disukai syariat dan kedokteran karena efeknya berbahaya bagi badan. Bahkan ada yang saking ketatnya hingga membuat pemakainya tidak dapat sujud. Bila karena mengenakannya seseorang meninggalkan shalat, maka jelas pakaian semacam ini haram. Dan memang kenyataan menunjukkan bahwa mayoritas orang yang mengenakan pakaian semacam ini adalah orang-orang yang tidak shalat.
Demikian pula banyak di atara kaum mslimin di jaman ini yag menunaikan shalt dengan pakian yang membentuk kedua kemaluan atau membentuk salah satunya. Al-Hafidz Ibnu Hajar menceritakan sebuah riwayat dari Asyhab tentang seseorang yang shalat hanya dengan menggunakan celana panjang (tanpa ditutupi sarung atau jubah atau gamis), beliau berkata :”Hendaknya ia mengulangi shalatnya ketika itu juga kecuali bila celananya tebal.” Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah memakruhkan hal itu.  Padahal saat itu keadaan celana pangjang mereka sangat longgar, lalu bagaimana dengan celana pantalon yang sangat sempit?!
Syaikh Al-Albani berkata : “Celana pantalon mengandung dua cela :
Pertama, orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin menggunakan celana panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon, keculai setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka tadi.
Kedua, celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Ketika shalat seorang muslim seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada Rabb-nya, namun bagi mereka yang menggunakan celana pantolan, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana mungkin orang yang dalam keadaan semacam ini dikatakan shalat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin?!
Anehnya banyak di antara para pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau sempit karena membentuk bodinya, sementara mereka sendiri lupa akan diri merea sendiri. Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana pantolan yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita kedunya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pmuda untuk segera menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara Allah, namun mereka sedikit3.
Adapun bila celana pantolan tersebut luas, maka sah shalat dengannya. Namun akan lebih utama bila di atasnya ada gamis yang menutup antara pusar hingga lutut atau lebih rendah hingga pertengahan betis atau mata kaki. Yang demikian lebih sempurna dalam menutup aurat4. (Al Fatawa 1/69 oleh Syaikh bin Baz)
2.      Tidak Tipis dan Tidak Transparan
Sebagaimana makruh(dibenci)nya shalat dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk aurat, maka demikian pula tidak boleh shalat dengan pakaian yang tipis yang tampak secara transparan apa yang ada di baliknya seperti pakaian sebagian orang yang gila mode di jaman ini, mereka poles apa yang dianggap aib oleh syariat hingga tampak indah. Mereka adalah tawanan-tawanan syahwat, budak-budak adat dan mereka mempunyai propagandis yang menyerukan propaganda-propaganda, menawarkan mode-mode baru :”Inilah yang terbaru, inilah yang trendi tidak kolot dan kuno5.”
Termasuk dalam bab ini adalah shalat dengan mengenakan pakaian tidur “piyama”. Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Iman Bukhari di dalam shahihnya dari Abu Hurairah radliallahu’anhu, ia berkata : “Pernah ada seseorang yang datang menjumpai Nabi shalallahi ‘alaihi wassalam, lalu bertanya tentang shalat dengan mengenakan satu pakaian. Rasulullah shalallahi ‘alaihi wassalam menjawab :”Bukankah setiap kalian mampu mendapatkan dua pakaian!?”
Kemudian seseorang bertanya kepada Umar, lalu Umar menjawab :”Bila Allah memberikan kelapangan seseorang hendaknya ia shalat dengan dua sarung dan jubah, atau sarung dan gamis, atau sarung dan mantel (jubah luar), atau celana panjang dan gamis, atau celana panjang dan jubah, atau celana panjang dan mantel, atau celana pendek dan mantel, atau celana pendek dan gamis (yang menutupi sampai bawah lutut, red).” (Mutafaqqun ‘alaihi)
Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhuma pernah melihat Nafi’ shalat sendiri dengan menggunakan satu pakaian. Lalu beliau berkata padanya :”Bukankah saya memberimu dua pakaian?” Nafi’ menjawab :”Benar.” Ibnu Umar bertanya pula :”Apakah kamu pergi ke pasar dengan mengenakan satu pakaian?” Nafi’ menjawab :”Tidak.” Ibnu Umar berkata :”Allah yang lebih berhak bagimu berhias untuk-Nya6.”
Demikian pula orang yang shalat dengan pakaian tidur, tentunya ia malu pergi ke pasar dengannya karena tipis dan transparan.
Ibnu Abdil Barr dalam At-Tahmid  6/369 mengatakan :”Sesungguhnya ahli ilmu menganggap mustahab bagi orang yang mampu dalam pakaian agar berhias dengan pakaian, minyak wangi dan siwaknya ketika shalat sesuai dengan kemampuannya.”
Para fuqaha dalam membahas syarat-syarat sahnya shalat yaitu dalam pembahasan “Menutup Aurat”, mereka mengatakan :” Syarat bagi pakaian penutup adalah tebal, tidaklah sah bila tipis yang mengesankan warna kulit.”
Semua ini berlaku bagi pria dan wanita, baik pada shalat sendiri ataupun shalat berjamaah. Dengan demikian siapapun yang terbuka auratnya padahal ia mampu menutupnya, maka shalatnya tidak sah walaupun shalat sendiri di tempat yang gelap, karena sudah merupakan ijma’ tentang wajibnya menutup aurat di dalam shalat.
Allah Ta’ala berfirman :

AYAT

Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indak di setiap (memasuki) masjid. (Al-A’raf : 31)
Yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada ayat di atas yaitu pakian, sedangkan yang dimaksud dengan masjid yaitu shalat. Artinya :” Pakailah pakaian yang menutup aurat ketika kalia shalat.”
Ucapan Umar radliallahu’anhu yang menyebutkan jenis-jenis pakaian yang menutup aurat atau yang banyak dipakai tersebut merupaka dalil akan wajibnya shalat dengan pakaian yang menutup aurat. Beliau menggabungkan yang satu dengan yang lain bukan berarti pembatasan, akan tetapi yang satu bisa mengganti kedudukan yang lain. Adapun mengenakan satu pakaian hanya boleh dilakukan dalam keadaan yang mendesak atau terpaksa. Di sana juga terdapat faedah bahwa shalat dengan dua pakaian itu lebih afdlal daripada dengan satu pakaian. Dan Al-Qadli Iyadl telah menegaskan ijma’ dalam hal ini7.
Berkata Imam Syafi’i rahimahullah :” Bila seseorang shalat dengan gamis8 yang transparan, maka shalatnya tidak sah.”9
Beliau juga berkata :“ Yang lebih parah dari hal ini adalah kaum wanita, bila shalat dengan daster (pakaian wanita di rumah) dan kudung, sedangkan daster menggambarkan bentuk tubuhnya. Saya lebih suka bila wanita tersebut shalat dengan mengenakan jilbab yang lapang di atas kudung dan dasternya sehingga tubuh tidak terbentuk dengan daster tadi.”10
Untuk itu hendaknya kaum wanita tidak shalat dengan pakaian yang transparan seperti pakaian dari nilon dan sejenisnya, karena bahan jenis ini walaupun luas dan menutup seluruh tubuh namun selalu terbuka atau membentuk. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
HADITS
Akan ada kelak pada umatku wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang …. (HR. Malik dan Muslim)
Ibnu Abdil Barr berkata : “ Yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis atau mini yang membentuk tubuh dan tidak menutup auratnya. Mereka disebut berpakaian tapi pada hakekatnya telanjang.”11
Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah sebuah riwayat sebagai berikut. “Suatu hari Al-Mundzir bin Az-Zubair datang dari Iraq, lalu ia mengirim oleh-oleh kepada Asma’ pakaian tipis dan antik dari Qhistan dekat Khurasan, setelah ia mengalami kebutaan. Ia pun lastas meraba pakaian tersebut dengan tangannya kemudian berkata :”Ah kembalikan pakaian ini.” Pengantarnya merasa tidak enak dan berkata :”Wahai ibu sungguh pakaian ini tidak transparan.”  Asma’ berkata :”Pakaian ini walaupun tidak transparan tetapi membentuk.”12
Kata As-Safarini dalam Gidza’ul Albab :”Bila pakaian itu tipis hingga tampak aurat si pemakainya, baik lelaki maupun wanita, maka dilarang dan haram mengenakannya. Sebab secara syariat dianggap tidak menutup aurat sebagaimana diperintahkan. Hal ini tidak diperselisihkan lagi.”13
Kata Imam As-Syaukani dalam Nailul Authar 2/115 :” Wajib bagi wanita menutup badannya dengan pakaian yang tidak membentuk tubuh, inilah syarat dalan menutup aurat.”
Sebagian fuqaha menyebutkan :” Pakaian yang transparan pada sekilas pandangan, keberadaannya seperti tidak ada. Karena itu tidak ada shalat bagi yang mengenakannya (untuk shalat).”
Sebagian yang lain menegaskan bahwa pakaian para salaf tidak ada yang terbuat dari bahan yang membentuk aurat karena tipis, sempit atau yang lain.
3. Tidak Membuka Aurat
Ada beberapa golongan yang terkadang shalat dengan aurat terbuka, di antaranya :
  1. Mereka yang mengenakan celana pajang pantalon yang membentuk aurat atau mengesankannya atau transparan dengan kemeja pendek. Ketika ruku’ atau sujud, kemeja tertarik ke atas sedang celana tertarik ke bawah. Dengan demikian punggung dan sebagian auratnya tampak. Hal ini kadangkala terjadi bila tidak bisa dikatakan sering. Perhatikanlah, aurat mughalladhah (alat fital) nya tampak ketika ia ruku’ atau sujud di hadapan Rabbnya. Na’udzubillah! Kita berlindung kepada Allah dari kebodohan, sebab bila dalam keadaan demikian sedang aurat terbuka, jelas mengantarkan pada batalnya shalat. Lantas siapa kambing hitamnya? Celana pantalon dan memang celana pantalon asalnya dari negeri kafir.14
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jabrin dalam menanggapi beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian kaum muslimin di dalam shalat, beliau berkata :” Banyak di antara manusia tidak lagi mengenakan pakaian yang luas dan lapang, mereka hanya mengenakan celana panjang dan kemeja pendek yang menutupi dada dan punggung. Bila mereka ruku’, kemeja tertarik hingga tampak sebagian punggung dan ekornya yang merupakan aurat dan dilihat oleh orang yang ada di belakangnya. Padahal terbukanya aurat merupakan sebab batalnya shalat.15
  1. Wanita yang tidak menjaga pakaian dan tidak memperhatikan menutup seluruh badan, sedang ia berada di hadapan Rabbnya, baik karena bodoh, malas atau acuh tak acuh. Padahal sudah menjadi kesepakatan bahwa pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk shalat adalah baju panjang dan kerudung.16
Kadang-kadang seorang wanita sudah menulai shalat padahal sebagian rambut atau lengan atau betisnya masih terbuka. Maka ketika itu – menurut jumhut ahli ilmu – wajib ia mengulangi shalatnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh  Sayidah Aisyah radliallahu’anha bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

HADITS

Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (baligh) kecuali dengan kerudung. (HSR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lain)
Ummu Salamah radhiallahu’anha pernah ditanya sebagai berikut :” Pakaian apa yang pantas dikenakan wanita untuk shalat?” Beliau menjawab :” Kerudung dan baju panjang yang longgar sampai menutup kedua telapak kaki17. (Riwayat Malik dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
Imam Ahmad juga pernah ditanya :” Berapa banyak pakaian yang dikenakan wanita untuk shalat?” Beliau menjawab :” Paling sedikit baju rumah dan kudung dengan menutup kedua kakinya dan hendaknya baju itu lapang dan menutup kedua kakinya.”
Imam Syafi’i berkata :” Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya di dalam shalat kecuali telapak tangan dan mukanya.”
Beliau juga berkata :” seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajah. Telapak kakipun termasuk aurat. apabila di tengah shalat tersingkap apa yang ada di antara pusar dan lutut bagi pria sedang bagi wanita tersingkap sedikit dari rambut atau badan atau yang mana saja dari anggota tubuhnya selain yang dua tadi dan pergelangan – baik tahu atau tidak – maka mereka harus mengulangi shalatnya. Kecuali bila tersingkap oleh angin atau karena jatuh lalu segera mengembalikannya tanpa membiarkan walau sejenak. Namun bila ia membiarkan sejenak walau seukuran waktu untuk mengembalikan, maka ia tetap harus mengulangnya.”18
Oleh karena itu wajib bagi wanita muslimah memperhatikan pakaian mereka di dalam shalat, lebih-lebih di luar shalat.
Banyak juga dari mereka yang sangat memperhatikan bagian atas badan yaitu kepala. Mereka menutup rambut dan pangkal leher tapi tidak memperhatikan anggota badan bagian bawah dengan kaus kaki yang sewarna dengan kulit sehingga tampak semakin indah. Terkadang ada di antara mereka yang shalat dengan penampilan semacam ini. Hal ini tidak boleh. Wajib bagi mereka untuk segera menyempurnakan hijab sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Teladanilah wanita-wanita Muhajirin ketika turun perintah Allah agar mengenakan kerudung, mereka segera merobek korden-korden yang mereka punyai lalu memakainya sebagai kerudung. Tetapi sekarang, kita tidak perlu menyuruh mereka merobek sesuatu, cukup kita perintahkan mereka memanjangkan dan meluaskannya hingga menjadi pakaian yang benar-benar menutup.19
Mengingat telah meluasnya pemakaian jilbab pendek di kalangan muslimah di beberapa negeri yang berpenduduk muslim, maka saya memandang penting untuk menjelaskan secara ringkas bahwa kaki dan betis wanita adalah aurat. Ucapan saya wabillahi taufiq adalah sebagai berikut :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

AYAT

Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang sedang mereka sembunyikan. (An-Nur : 31)
Sisi pengadilan dari ayat ini adalah bahwa wanita juga wajib menutup kaki, sebab bila dikatakan tidak, maka alangkah mudahnya seseorang menampakkan perhiasan kakinya, yaitu gelang kaki sehingga tidak perlu ia memukulkan kaki untuk itu. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan karena menampakkannya merupakan penyelisihan terhadap syariat dan penyelisihan yang semacam ini tidak mungkin di jaman risalah. Karena itu seseorang dari mereka melakukan tipu daya dengan cara memukulkan kakinya agar kaum pria mengetahui perhiasan yang disembunyikan. Maka Allah pun melarang mereka dari hal itu.
Sebagai penguat dari penjelasan saya, Ibnu Hazm berkata :” Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa kaki dan betis termasuk aurat yang mesti disembunyikan dan tidak halal menampakkannya.”20
Adapun penguat dari sunnah adalah hadits Ibnu Umar radliallahu’anhuma, ia berkata :

HADITS

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : Siapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya di hari kiamat.” Ummu Salamah radliallahu’anha bertanya :” Apa yang harus diperbuat oleh wanita terhadap ujung pakaian mereka?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Turunkan sejengkal.” Ummu Salamah berkata :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar