Mengenai Saya

Foto saya
SOLO, JAWATENGAH, Indonesia
Alhamdulillah dipercaya sebagai seorang guru, masih dan akan selalu belajar agar senantiasa menjadi lebih baik.

Kamis, 16 Februari 2012

KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BIDAH


+Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin                      

 BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABAN
Mungkin ada diantara pembaca yang bertanya: Bagaimanakah pendapat Anda tentang perkataan Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'b dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata: Inilah sebaik-baik bid'ah ...dst.
Jawabannya:
Pertama: bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'la berfirman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (Surah An-Nurr:63),
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tahukah Anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah? Fitnah yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi akan terjadi pada hatinya  suatu kesesatan akhirnya akan jadi binasa.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit, Kukatakan Rasulullah bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar.”
Kedua: Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'Anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda RasulNya. Beliau pun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada Kalamullah.
Sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah  Radhiyallahu 'Anha bahwa: Nabi pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannya pada malam keempat, dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedangkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
 Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjama'ah termasuk sunnah Rasulullah. Namun disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu 'anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama'ah dengan beberapa orang saja, dan ada pula yang berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar Radhiyallahu 'Anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah karena pernah dilakukan oleh Rasulullah.                  Dengan penjelasan ini, tidak ada alasan apa pun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.
Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya: Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti: adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebajikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi: Setiap bid'ah adalah kesesatan ?
Jawabnya: Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah: Sarana dihukumi menurut tujuannya. Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram.
Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat. Firman Allah Ta'ala: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Surah Al-An'aam:108).
Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang musyrik adalah perbuatan haq dan pada tempatnya. Sebaliknya menjelek-jelekkan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang. Ayat ini sengaja kami kutip, karena murupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya.
Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan  tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila pembangunnya bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.
Jika ada pula yang mempertanyakan: Bagaimana jawaban Anda terhadap sabda Nabi: Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu …Sanna di sini artinya:membuat atau mengadakan.
Jawabnya: Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula; setiap bid'ah adalah kesesatan, yaitu Rasulullah. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan..
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi menyatakan Man Sanna fil Islaam, yang artinya: Barangsiapa berbuat dalam Islam, sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam; kemudian menyatakan: Sunnah hasanah, berarti: Sunnah yang baik, sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu saja berbeda antara berbuat sunnah dengan mengerjakan bid'ah.
 Jawaban yang lainnya, bahwa kata-kata Man Sanna bisa diartikan pula: Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah, yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata sanna tidak   berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan. Ada juga jawaban yang lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits di atas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkan di hadapan Rasulullah. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda: Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu....
Dari sini, dapat dipahami bahwa arti sanna ialah: melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau: Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanah, yaitu: Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik, bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang, berdasarkan sabda beliau: Kullu bid'atin dhalalah.


  SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi) tidak ada tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:
Pertama: Sebab. Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh: Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at.
Kedua: Jenis. Artinya: ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh; seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga: Kadar (bilangan). Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan raka'atnya. Jadi apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat: Kaifiyah (cara). Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.
Kelima: Waktu. Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam. Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan  untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam: Tempat. Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
Pertama: Ikhlas.
Kedua: Mutaba'ah.
            Dan mutaba'ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.

PENUTUP
Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat dalam cobaan bid'ah, yang kemungkinan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan maka- demi Allah- tidak ada jalan yang lebih baik daripada jalan para Salaf (generasi pendahulu) radhiyallahu 'anhum. Pegang teguhlah sunnah Rasul, ikutilah jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan merugikan Anda? Dan kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa Anda akan mendapatkan kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid'ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan bid'ah tentu mereka menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa enggan dan malas. Itu semua merupakan dampak dari bid'ah terhadap hati. Bid'ah, besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada suatu kaum melakukan bid'ah dalam agama Allah melainkan mereka telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau melebihinya sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf. Akan tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan bukan pembuat syari'at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan takut, tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul 'Alamien serta kesempurnaan ittiba' (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin, Sayyidul Mursalin, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alahi wa sallam.
            Semoga allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat petunjuk-Nya dan pemimpin yang membawa kebaikan, menerangi hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hambaNya yang beriman, menjadikan kita termasuk para auliya'Nya yang bretakwa dan golonganNya yang beruntung. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
                 
Maraji' : Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' (Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin)

 © copycenter 1425 - cybermoslemsalafy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar